Kabar LPPM.Kediri. Dalam rangka merespon gejala sosial yang sangat memprihatinkan akhir-akhir ini yaitu merebaknya perilaku kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kediri menyelenggarakan seminar sehari dalam bentuk Sosialisasi Pecegahan Kekerasan Seksual pada tanggal 15 Desember 2022 bertempat di Auditorium lantai 4 gedung Perpustakaan IAIN Kediri. Acara yang secara khusus mengundang dan melibatkan para guru PAUD ini, untuk memastikan bahwa para pendidik utamanya guru PAUD dapat terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan pihak kampus, sehingga peristiwa kekerasan terhadap anak, utamanya terkait dengan seksualitas dapat dicegah dan diantisipasi.
Wahidul Anam, Rektor IAIN Kediri yang didampingi Muh. Shofiyul Huda sekretaris LPPM dan Lutfi Atmasari Kepala PSGA dalam sambutan membuka acara menyampaikan bahwa kekerasan pada anak akhir-akhir ini terus meningkat. Tugas kita adalah untuk menyadarkan bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Kewajiban utama mendidik anak tetap di tangan orang tua, sedangkan tugas guru adalah membantu dalam mendidik anak-anak di sekolah.
Lebih lanjut Wahidul Anam memaparkan bahwa dalam kenyataannya pantauan terhadap pendidikan anak akhir-akhir ini mulai mengkhawatirkan. Padahal sekolah biayanya mahal, tetapi anak-anak kita masih belum mendapatkan perlakukan dan perlindungan yang memadai. Oleh karena itu, lanjut rektor, tugas kita bersama untuk mengembalikan jati diri anak-anak. Karena masa anak-anak adalah masa bermain dan masa mencari pengalaman. Sehingga jangan dipaksa untuk mengerjakan sesuatu yang belum waktunya.
Sementara itu dalam acara Sosialisasi Pencegahan Terhadap Kekerasan Seksual juga menghadirkan dua orang nara sumber yaitu Nuril Bariroh, psikolog dari Puspaga Kabupaten Nganjuk dan Sunanrno, dosen Psikologi Islam IAIN Kediri sekaligus owner Sekolah Alam Ramadhani di Kota Kediri.
Menurut Sunanrno, salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kekerasan seksual adalah karena adanya budaya perkosaan di masyarakat. Karena budaya adalah seperangkat pemograman pikiran yang dilakukan dalam sebuah kelompok tertentu. Sehingga mampu membentuk sebuah identitas dan mempengaruhi perilaku tertentu.
Mensikapi fenomena tersebut Lutfi Atmasari, menegaskan bahwa pihaknya bersama pimpinan perguruan tinggi akan membentuk satuan tugas khusus yang bersifat permanen. Adapun yang bisa bergabung menjadi satgas khusus adalah berasal dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Mereka yang akan bergabung dalam satgas ini harus dipastikan tidak pernah melakukan atau membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
“ Satgas khusus inilah yang nantinya hadir untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan berdasarkan persetujuan korban. Satgas di kampus harus memberikan respons penuh empati terhadap laporan korban, dan tidak membuat korban harus menceritakan kejadian yang dialaminya berulang kali sebab hal tersebut akan menimbulkan beban psikologis tersendiri bagi korban, “ tegas Lutfi.
Akhirnya, kolaborasi bersama adalah kunci keberhasilan pelaksanaan peraturan ini. Segenap pihak harus turut serta menciptakan budaya akademik yang terbebas dari kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap gender tertentu di kampus agar kampus menjadi tempat aman dari kekerasan seksual.